
Yogyakarta, 10 Juni 2025 – Muhammad Oriza Nurfajri, S.Kom., M.IT., dosen Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM, tampil sebagai narasumber dalam program TV “Pro Justicia” di TVRI Yogyakarta bersama dua akademisi dari Fakultas Hukum UGM, Dr. Dra. Dani Krisnawati, S.H., M.Hum., dan Airin Liemanto, S.H. Ketiganya membahas tema “Kerahasiaan Rekam Medis sebagai Hak Hukum: Edukasi Perlindungan Data Pribadi di Bidang Kesehatan” dalam program berdurasi satu jam yang disiarkan langsung dari Studio 1 TVRI Yogyakarta pada 10 Juni 2025 pukul 09.30–10.30 WIB. Acara ini merupakan kerja sama antara TVRI dan Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UGM sebagai upaya untuk meningkatkan literasi publik tentang perlindungan data pribadi, khususnya dalam konteks layanan kesehatan.
Dalam sesi diskusi, Oriza menyoroti bahwa perlindungan data pribadi di sektor kesehatan tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga harus dibangun di atas kesadaran dari seluruh pemangku kepentingan. Ia menekankan bahwa membangun komunitas rumah sakit dan puskesmas yang memahami potensi risiko serangan siber akan membuat pengelolaan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS) menjadi lebih aman. Ia juga menyampaikan bahwa data kesehatan merupakan salah satu jenis data pribadi yang paling sensitif dan bernilai tinggi, sehingga memerlukan perlindungan yang ketat baik dari sisi teknis, prosedural, maupun kebijakan institusional.
Pada sesi tanya jawab, Oriza menanggapi pertanyaan tentang indikator rumah sakit yang memiliki sistem keamanan informasi yang baik, Oriza menjelaskan bahwa sertifikasi internasional seperti ISO 27001 menjadi tolok ukur institusi terhadap perlindungan data pasien. Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa keberhasilan sistem tidak hanya ditentukan oleh sertifikat, tetapi juga oleh kesiapan dan kedisiplinan petugas lapangan. “Banyak kebocoran data justru terjadi bukan karena sistemnya lemah, melainkan karena praktik di lapangan yang tidak disiplin,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan pentingnya pelatihan berjenjang bagi seluruh staf fasilitas kesehatan. Bagi seluruh karyawan, pelatihan dasar mencakup kesadaran ancaman siber, pengenalan risiko keamanan, hingga protokol pelaporan insiden. Sementara itu, tim IT perlu dibekali dengan pelatihan lanjutan seperti forensik digital, deteksi dini ancaman, dan respons insiden untuk meningkatkan ketanggapan terhadap gangguan dalam sistem.
Selama sesi diskusi berlangsung, juga menyoroti pentingnya pendekatan lintas disiplin antara teknologi dan hukum. Kolaborasi antara Oriza dan dua akademisi hukum dari FH UGM memberikan perspektif tidak hanya dari sisi implementasi teknis, tetapi juga dari aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien. Airin Liemanto turut menegaskan bahwa perlindungan data rekam medis merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia, sehingga implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi perlu disertai dengan edukasi menyeluruh kepada masyarakat.
Program edukatif ini sekaligus berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pada SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan), perlindungan data mendorong kepercayaan terhadap layanan kesehatan yang aman dan terpercaya. Pada SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), penerapan standar keamanan mendorong penguatan infrastruktur digital di bidang kesehatan. SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat) tercermin dalam upaya membangun institusi yang bertanggung jawab melalui transparansi pengelolaan data. Sementara itu, kolaborasi antara sektor pendidikan, media, dan pelayanan publik menjadi wujud nyata dari SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).
Author: Muhammad Oriza Nurfajri
Editor: Marina
#SDG3 #SDG9 #SDG16 #SDG17